![]() |
| Foto Wakil Ketua Komisi I DPR Aceh, Rusyidi Muktar, S.Sos. |
Detikacehnews.id | Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengeluarkan pernyataan tegas menyikapi lambannya penanganan pemerintah pusat terhadap bencana banjir bandang yang melanda hampir seluruh wilayah Aceh. Wakil Ketua Komisi I DPR Aceh, Rusyidi Muktar, S.Sos mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera membuka akses bantuan internasional demi mempercepat pemulihan kondisi masyarakat terdampak.
Rusyidi menegaskan bahwa bencana banjir bandang yang terjadi kali ini tidak dapat dipandang sebagai bencana biasa. Berdasarkan data sementara, sebanyak 23 kabupaten/kota di Aceh terdampak secara signifikan, dengan kerusakan infrastruktur, pemukiman warga, serta lumpuhnya aktivitas ekonomi masyarakat.
“Ini bukan bencana biasa, ini bencana dahsyat. Rakyat kehilangan rumah, akses jalan terputus, ekonomi lumpuh total. Pemerintah pusat tidak boleh tinggal diam. Kami meminta Presiden segera bertindak dan memberi izin bagi negara sahabat yang ingin membantu Aceh,” tegas Rusyidi dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, hingga saat ini pemerintah pusat masih belum menetapkan status bencana nasional, sehingga berdampak langsung pada tertahannya bantuan internasional. Kondisi tersebut dinilai semakin memperburuk situasi di lapangan, di tengah keterbatasan logistik dan lambannya proses penanganan korban banjir.
Rusyidi juga menyoroti kesan setengah hati dan kurangnya kepedulian dalam penanganan bencana oleh pemerintah di lapangan. Ia menyebut, banyak wilayah masih terisolasi, akses distribusi bantuan tersendat, dan kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi secara optimal.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan informasi tertahannya 500 ton bantuan logistik yang dikirim oleh Perantau Aceh di Malaysia. Bantuan tersebut dilaporkan tidak dapat masuk ke Aceh akibat kebijakan pemerintah pusat yang menolak bantuan luar negeri dengan alasan menjaga “harga diri” pemerintah.
“Kami tidak sedang berbicara soal gengsi. Kami berbicara tentang nyawa, tentang masa depan rakyat Aceh. Kami ingin Aceh ditangani dengan serius, dengan hati dan kepedulian. Izinkan dunia membantu Aceh,” ujar Rusyidi.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa skala kerusakan yang terjadi membutuhkan penanganan jangka panjang dan dukungan besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, menurutnya, tanpa dukungan internasional, proses pemulihan Aceh bisa memakan waktu puluhan tahun.
“Penanganan bencana sejauh ini sangat lamban dan belum sebanding dengan penderitaan masyarakat. Tingkat kerusakan yang terjadi membutuhkan perbaikan besar-besaran, bahkan bisa memakan waktu hingga 30 tahun jika tanpa uluran bantuan internasional,” katanya.
Dalam pernyataannya, Rusyidi juga mengingatkan pemerintah pusat agar tidak hanya terjebak pada rapat dan koordinasi tanpa tindakan nyata di lapangan. Ia menegaskan bahwa masyarakat Aceh saat ini membutuhkan aksi cepat, konkret, dan berkelanjutan.
“Aceh sedang menjerit. Ini bukan waktunya untuk rapat tanpa aksi. Jika pemerintah pusat terus abai, maka rakyat Aceh berhak mempertanyakan kembali komitmen kebangsaan yang selama ini kami junjung,” ujarnya dengan nada tegas.
Meski demikian, Rusyidi menegaskan bahwa DPR Aceh tidak menginginkan terjadinya konflik. Namun ia mengingatkan, pembiaran yang berlarut-larut terhadap penderitaan rakyat dapat memicu kekecewaan mendalam.
“Kami tidak ingin konflik. Tetapi jika kondisi ini terus dibiarkan, kami siap berdiri sendiri demi menyelamatkan rakyat Aceh,” pungkasnya.
.jpg)