×

Iklan

Iklan


Tag Terpopuler

HMI Cabang Bireuen Tolak Keputusan Mendagri, Empat Pulau Itu Milik Aceh!

Minggu, 15 Juni 2025 | 19:40 WIB Last Updated 2025-06-15T12:40:41Z

Ketua Umum HMI Cabang Bireuen, T. Mirza Saputra.



Detikacehnews.id | Bireuen - Gelombang penolakan terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 terus meluas. Kali ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bireuen dengan tegas menyatakan sikap: empat pulau yang diputuskan masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara adalah milik sah Provinsi Aceh.


Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada Sabtu, 14 Juni 2025, Ketua Umum HMI Cabang Bireuen, T. Mirza Saputra, menegaskan bahwa keputusan Mendagri tersebut tidak hanya keliru dari sisi hukum, tetapi juga mencederai martabat dan integritas wilayah Aceh sebagai bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan status kekhususannya.


Kami menolak dengan tegas keputusan Mendagri. Empat pulau itu adalah milik Aceh secara historis, yuridis, dan sosiologis. Ini bukan sekadar soal peta, ini soal harga diri dan keadilan wilayah,” tegas Mirza dalam konferensi persnya di Bireuen.


Penolakan HMI Cabang Bireuen bukan tanpa dasar. Mereka menyusun argumen yang kokoh berdasarkan regulasi formal dan sejumlah dokumen sejarah yang telah diakui negara: 
  • Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh menjadi pijakan utama, yang dengan jelas menetapkan batas-batas wilayah Aceh sejak 1 Juli 1956. Batas ini pula yang digunakan dalam perundingan dan kesepakatan MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2005.
  • Undang-Undang No. 14 Tahun 1999 turut mempertegas bahwa gugusan Kepulauan Pulau Banyak, yang mencakup Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil.
  • Kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada tahun 1992, yang juga dihadiri oleh Mendagri saat itu, menyatakan dengan terang bahwa keempat pulau tersebut berada dalam yurisdiksi Provinsi Aceh.
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 01.P/HUM/2013, yang secara eksplisit menolak gugatan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait wilayah ini, semakin mempertegas posisi hukum yang berpihak kepada Aceh.

HMI juga menyoroti dimensi historis dan sosiologis sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas keempat pulau tersebut. Menurut Mirza, kawasan Aceh Singkil memiliki sejarah panjang sebagai pusat penyebaran Islam dan peradaban Melayu di Nusantara. Beberapa ulama besar yang diakui dunia Islam berasal dari kawasan ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, dan Abdurrauf As-Singkili.


Wilayah ini bukan sekadar gugusan pulau kosong, melainkan bagian dari sejarah dan peradaban Islam yang telah memberi warna pada budaya dan intelektualitas Melayu sejak abad ke-16,” jelasnya.


Dari sisi sosial, pelayanan pemerintahan dan pembangunan infrastruktur di empat pulau tersebut selama ini dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Masyarakatnya pun selama bertahun-tahun membayar pajak ke otoritas Aceh, mengikuti sistem pendidikan, layanan kesehatan, dan administrasi kependudukan dari Pemerintah Aceh. Bahkan, dalam berbagai kegiatan sosial dan adat, identitas mereka erat melekat pada Aceh.


Melihat berbagai kejanggalan dan potensi perpecahan yang bisa timbul dari keputusan sepihak ini, HMI Cabang Bireuen menyampaikan tiga poin tuntutan penting:
  1. Mendesak Pemerintah Aceh untuk segera mengambil langkah hukum, administratif, dan politik untuk menolak serta menggugat Keputusan Mendagri ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
  2. Menuntut pengakuan resmi dan permanen dari Pemerintah Pusat bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian sah dari Provinsi Aceh.
  3. Mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh, mulai dari tokoh adat, ulama, akademisi, mahasiswa, hingga komunitas diaspora Aceh untuk bersatu menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Aceh.

Siapa pun yang membiarkan wilayah ini diambil, sama saja dengan melepas satu bagian tubuh Aceh. Kita harus berdiri menjaga kehormatan tanah leluhur ini,” pungkas Mirza dengan nada geram.


Pernyataan HMI Cabang Bireuen ini menambah daftar panjang lembaga dan elemen sipil di Aceh yang menyuarakan penolakan terhadap keputusan Mendagri. Sebelumnya, berbagai organisasi mahasiswa, tokoh adat, serta mantan kombatan GAM juga menyatakan sikap yang senada, bahkan sebagian menyebut keputusan ini sebagai bentuk “pencaplokan wilayah secara administratif”.


Isu ini diprediksi akan menjadi titik api yang membakar sentimen kolektif masyarakat Aceh terhadap perlakuan Pemerintah Pusat. HMI dan kelompok mahasiswa lainnya tengah merancang aksi damai serentak di sejumlah kota untuk menegaskan bahwa Aceh tidak diam.