Wakil Ketua Komisi I DPRA, Rusyidi Mukhtar, yang akrab disapa Ceulangiek.
Detikacehnews.id | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi I DPRA, Rusyidi Mukhtar, yang akrab disapa Ceulangiek, mengusulkan kebijakan strategis untuk melarang seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Aceh mencalonkan diri sebagai keuchik (kepala desa). Langkah ini, menurutnya, bertujuan untuk memberikan ruang lebih besar bagi masyarakat non-ASN dalam membangun gampong (desa) serta menciptakan regenerasi kepemimpinan yang lebih dinamis dan variatif.
Ceulangiek menegaskan bahwa larangan ini bukanlah hal baru, mengingat sebelumnya sudah ada kebijakan yang melarang ASN guru dan tenaga kesehatan mencalonkan diri sebagai keuchik. Namun, ia merasa aturan tersebut perlu diperluas agar mencakup semua ASN tanpa terkecuali.
“ASN sudah memiliki pekerjaan yang stabil di sektor pemerintahan. Tidak seharusnya mereka mengambil peran tambahan sebagai kepala desa. Dengan membuka peluang lebih luas bagi masyarakat non-ASN, kita dapat mendorong munculnya pemimpin-pemimpin baru yang mampu membawa perubahan positif di tingkat desa,” ujar Ceulangiek dalam keterangannya pada Minggu (26/1).
Keuchik merupakan salah satu elemen kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai pemimpin di tingkat lokal, keuchik memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan desa.
Menurut Ceulangiek, membatasi ASN dari jabatan keuchik dapat menciptakan peluang baru bagi masyarakat non-ASN untuk ikut terlibat langsung dalam kepemimpinan desa. Ia menilai, kebijakan ini akan memperluas lapangan pekerjaan di desa sekaligus memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memimpin dan mengelola pembangunan di tingkat lokal.
“Regenerasi kepemimpinan di tingkat desa sangat penting. Dengan membatasi ASN, kita bisa memastikan bahwa masyarakat non-ASN memiliki kesempatan lebih besar untuk berkontribusi langsung dalam membangun desanya,” tambahnya.
Ceulangiek juga mendorong pemerintah Aceh agar segera merumuskan kebijakan yang tegas terkait usulan ini. Ia berharap pemerintah dapat melihat pentingnya aturan ini dalam konteks memperkuat pemerintahan desa yang lebih inklusif dan merata.
“Kami berharap pemerintah Aceh segera mengeluarkan aturan yang jelas untuk melarang ASN mencalonkan diri sebagai keuchik. Hal ini tidak hanya akan mendorong regenerasi kepemimpinan, tetapi juga menciptakan variasi dalam pola kepemimpinan desa, sehingga pemimpin yang terpilih lebih dekat dengan masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ceulangiek menyatakan bahwa peran keuchik bukan sekadar jabatan formal, melainkan bagian dari proses pemberdayaan masyarakat desa. Dengan memberikan ruang kepada masyarakat non-ASN, desa-desa di Aceh dapat menciptakan iklim kepemimpinan yang lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
Usulan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang menilai bahwa regenerasi kepemimpinan adalah kunci untuk pembangunan desa yang berkelanjutan. Beberapa tokoh masyarakat menilai, pelarangan ASN mencalonkan diri sebagai keuchik akan membuka ruang bagi para pemuda, tokoh adat, dan masyarakat umum untuk tampil sebagai pemimpin.
Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan yang mungkin muncul jika seorang ASN memegang jabatan keuchik. Dengan pemisahan peran yang jelas, pembangunan desa dapat dilakukan dengan lebih transparan dan akuntabel.
Jika usulan ini dapat diterapkan, Ceulangiek optimistis bahwa desa-desa di Aceh akan memiliki masa depan yang lebih cerah. Kepemimpinan yang lebih variatif dan berbasis komunitas diharapkan dapat mendorong inovasi serta menciptakan program-program pembangunan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Kita semua ingin melihat desa-desa di Aceh berkembang dengan baik. Untuk itu, kita perlu memberikan kesempatan kepada masyarakat non-ASN untuk berkontribusi secara langsung dalam membangun desanya. Ini adalah langkah awal untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan yang berkualitas,” pungkas Ceulangiek.
Usulan ini kini menjadi perhatian serius pemerintah Aceh dan diharapkan segera dibahas dalam forum resmi. Jika berhasil diimplementasikan, kebijakan ini akan menjadi tonggak baru dalam pembangunan desa di Aceh, yang lebih inklusif dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat lokal.
Ceulangiek menegaskan bahwa larangan ini bukanlah hal baru, mengingat sebelumnya sudah ada kebijakan yang melarang ASN guru dan tenaga kesehatan mencalonkan diri sebagai keuchik. Namun, ia merasa aturan tersebut perlu diperluas agar mencakup semua ASN tanpa terkecuali.
“ASN sudah memiliki pekerjaan yang stabil di sektor pemerintahan. Tidak seharusnya mereka mengambil peran tambahan sebagai kepala desa. Dengan membuka peluang lebih luas bagi masyarakat non-ASN, kita dapat mendorong munculnya pemimpin-pemimpin baru yang mampu membawa perubahan positif di tingkat desa,” ujar Ceulangiek dalam keterangannya pada Minggu (26/1).
Keuchik merupakan salah satu elemen kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai pemimpin di tingkat lokal, keuchik memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan desa.
Menurut Ceulangiek, membatasi ASN dari jabatan keuchik dapat menciptakan peluang baru bagi masyarakat non-ASN untuk ikut terlibat langsung dalam kepemimpinan desa. Ia menilai, kebijakan ini akan memperluas lapangan pekerjaan di desa sekaligus memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memimpin dan mengelola pembangunan di tingkat lokal.
“Regenerasi kepemimpinan di tingkat desa sangat penting. Dengan membatasi ASN, kita bisa memastikan bahwa masyarakat non-ASN memiliki kesempatan lebih besar untuk berkontribusi langsung dalam membangun desanya,” tambahnya.
Ceulangiek juga mendorong pemerintah Aceh agar segera merumuskan kebijakan yang tegas terkait usulan ini. Ia berharap pemerintah dapat melihat pentingnya aturan ini dalam konteks memperkuat pemerintahan desa yang lebih inklusif dan merata.
“Kami berharap pemerintah Aceh segera mengeluarkan aturan yang jelas untuk melarang ASN mencalonkan diri sebagai keuchik. Hal ini tidak hanya akan mendorong regenerasi kepemimpinan, tetapi juga menciptakan variasi dalam pola kepemimpinan desa, sehingga pemimpin yang terpilih lebih dekat dengan masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ceulangiek menyatakan bahwa peran keuchik bukan sekadar jabatan formal, melainkan bagian dari proses pemberdayaan masyarakat desa. Dengan memberikan ruang kepada masyarakat non-ASN, desa-desa di Aceh dapat menciptakan iklim kepemimpinan yang lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
Usulan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang menilai bahwa regenerasi kepemimpinan adalah kunci untuk pembangunan desa yang berkelanjutan. Beberapa tokoh masyarakat menilai, pelarangan ASN mencalonkan diri sebagai keuchik akan membuka ruang bagi para pemuda, tokoh adat, dan masyarakat umum untuk tampil sebagai pemimpin.
Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan yang mungkin muncul jika seorang ASN memegang jabatan keuchik. Dengan pemisahan peran yang jelas, pembangunan desa dapat dilakukan dengan lebih transparan dan akuntabel.
Jika usulan ini dapat diterapkan, Ceulangiek optimistis bahwa desa-desa di Aceh akan memiliki masa depan yang lebih cerah. Kepemimpinan yang lebih variatif dan berbasis komunitas diharapkan dapat mendorong inovasi serta menciptakan program-program pembangunan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Kita semua ingin melihat desa-desa di Aceh berkembang dengan baik. Untuk itu, kita perlu memberikan kesempatan kepada masyarakat non-ASN untuk berkontribusi secara langsung dalam membangun desanya. Ini adalah langkah awal untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan yang berkualitas,” pungkas Ceulangiek.
Usulan ini kini menjadi perhatian serius pemerintah Aceh dan diharapkan segera dibahas dalam forum resmi. Jika berhasil diimplementasikan, kebijakan ini akan menjadi tonggak baru dalam pembangunan desa di Aceh, yang lebih inklusif dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat lokal.