Notification

×

Iklan

Iklan


Tag Terpopuler

Wakil Ketua Komisi I DPRA Tolak Rencana Penambahan Batalyon TNI, Dinilai Langgar Semangat MoU Helsinki

Rabu, 30 April 2025 | 20:53 WIB Last Updated 2025-04-30T16:30:44Z

Wakil Ketua Komisi I DPRA, Rusyidi Mukhtar, S.Sos



Detikacehnews.id | Banda Aceh – Rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (UTP) baru oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Provinsi Aceh memantik respons keras dari Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rusyidi Mukhtar, S.Pd, yang akrab disapa Ceulangiek. Dalam pernyataannya, Rabu (30/4/2025), politisi Partai Aceh itu secara tegas menolak rencana tersebut dan menyebutnya sebagai langkah yang bertentangan dengan semangat perdamaian yang telah disepakati dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki.


Menurutnya, pendirian empat Batalyon baru di bawah kendali Kodam Iskandar Muda yang direncanakan akan ditempatkan di Kabupaten Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil bukanlah kebijakan yang bijak di tengah situasi Aceh yang kondusif dan damai.


"Aceh sudah aman dan damai. Tidak ada konflik yang mengharuskan penambahan kekuatan militer. Kita menolak," ujar Ceulangiek.


Lebih lanjut, Ceulangiek mengingatkan bahwa MoU Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, telah menjadi pijakan utama dalam menjaga stabilitas dan kehidupan damai di Aceh. Dalam klausul 4.11 MoU tersebut, secara eksplisit disebutkan bahwa tugas militer Indonesia di Aceh dibatasi hanya untuk pertahanan eksternal.


"MoU Helsinki adalah payung hukum damai di Aceh. Dalam klausul 4.11 disebutkan bahwa militer bertanggung jawab atas pertahanan eksternal saja. Jadi, tidak boleh ada penambahan Batalyon baru tanpa menabrak MoU itu sendiri," tegasnya.


Ceulangiek juga mengingatkan bahwa jumlah personel militer organik yang diperbolehkan berada di Aceh telah ditetapkan maksimal sebanyak 14.700 personel. Sementara relokasi pasukan non-organik sudah dilaksanakan sejak 15 September 2005, hanya sebulan setelah MoU ditandatangani, sebagai langkah nyata rekonsiliasi dan konsolidasi pasca-konflik.


Lebih jauh, Ceulangiek menyebutkan bahwa seluruh pergerakan militer yang melibatkan lebih dari satu peleton pun harus diberitahukan kepada Kepala Misi Monitoring, sesuai mekanisme pengawasan dalam MoU. Ketentuan ini, kata dia, menjadi landasan penting untuk menjamin keterbukaan dan menjauhkan kesan militeristik di tengah masyarakat yang tengah membangun kepercayaan damai.


"GAM sudah menjadi bagian dari masyarakat sipil. Dinding perdamaian itu sudah kokoh, bukan lagi rapuh," ujarnya penuh keyakinan.


Politisi yang dikenal vokal dalam memperjuangkan hak-hak Aceh ini juga menyoroti potensi buruk dari rencana penambahan batalyon terhadap persepsi publik. Menurutnya, langkah sepihak semacam itu tidak hanya berpotensi melanggar perjanjian damai, tetapi juga dapat mengusik rasa aman dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap negara.


"Penambahan ini tidak relevan dan justru bisa merusak kepercayaan publik. Kami minta rencana ini dibatalkan demi menjaga komitmen perdamaian dan harmoni antara rakyat Aceh dan negara," pungkasnya.


Ceulangiek menyerukan kepada pemerintah pusat dan institusi TNI agar lebih bijaksana dan sensitif terhadap dinamika lokal di Aceh. Ia menegaskan bahwa proses damai yang telah berjalan hampir dua dekade patut dijaga bersama, bukan dirusak dengan keputusan sepihak yang mengabaikan konteks sejarah dan perjanjian yang sah.


Penolakan ini menambah deretan suara dari tokoh-tokoh Aceh yang menyerukan agar pemerintah pusat tetap konsisten dalam mengimplementasikan butir-butir MoU Helsinki sebagai fondasi kehidupan bersama yang damai, adil, dan bermartabat.