Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Cerpen "Ingin Dirindukan Penduduk Langit"

Jumat, 03 Februari 2023 | 22:06 WIB Last Updated 2023-02-03T15:06:13Z

Cerpen "Ingin Dirindukan Penduduk Langit"
Penulis Reina Azzura, Siswi SMA Negeri 3 Bireuen

Detikacehnews.id | Cerpen - Semua berawal dari sebuah rumah mewah dan luas di tengah keramaian kota. Namun, terasa sempit dan sepi, karena aku sebagai penghuni tunggal di rumah itu.

Kedua orang tuaku, hari-harinya sibuk dengan urusan dunia. Katanya, “Demi kamu, Nak!”

Alasannya dapat aku terima, karena sejak aku mengenal dunia, tak ada yang kurang, dunia bak surga. Kasih sayang, kebutuhan, keinginan, semua di luar batas dari angan-angan anak kecil pada umumnya.

Seperti kala teman-temanku hanya bisa jalan-jalan di alun-alun kota, Ayah, Ibu, mengajakku ke Singapura, Spanyol, Winna.

Namun, semua berubah seketika tatkala Ayah, Ibu mulai sibuk dengan pekerjaannya. Ayah sebagai pimpinan perusahaan dan Ibu, menjadi bagian di dalamnya. Sementara Mbak Ipah yang biasa membantu Ibu membereskan rumah harus pulang kampung untuk menikah. 

“Nak, kamu sudah SMP, tidak usah cari asisten lagi, kita mengurus diri sendiri saja!” kata Ibu ketika Mbak Ipah memutuskan resign.

Semua pekerjaan rumah aman, karena memang tidak ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Setiap hari Sabtu ada pihak laundry yang akan membawa baju kotor kami. Jika rumah, taman sudah mulai kotor, Ayah akan menghubungi GoService.

Urusan makan, Ibu tidak perlu repot-repot mengotori dapur dan meja makan. 

“Nak, siang kamu go food saja ya, Ibu pulang pukul 21.00,” pesan Ibu melalui chat WhatApps.

Aku hanya bisa menjawab, “Iya, Bu.”

Semua serba go, go. Sebetulnya aku ingin protes, bukan makanannya saja yang aku butuhkan, tetapi keberadaan Ibu saat pulang sekolah.

Kesepian? Ya … Namun, tak bisa mengatakannya kepada Ibu dan Ayah.

***

“Nisa, aku mau pindah pesantren,” kata Nur teman satu bangku.

“Oh ya? Boleh aku ikut denganmu, mondok juga, bilang orang tuamu ya, kita berangkat bareng.”

Nur tampak bingung dengan keputusanku yang tiba-tiba, setelah aku yakinkan, dia setuju dan menjanjikan orang tuanya akan mendukungku. 

Orang tuaku, mereka tidak sibuk mengurus sekolahku, katanya aku sudah besar, bisa memilih mana yang baik dan benar. 

“Mana yang harus Ayah tanda tangani,” tanyanya saat aku meminta izin mondok. 

Beruntung aku berteman dengan Nur dan keluarganya. Bahkan Uminya selalu menasehatiku, seperti kala itu ketika aku mengeluh tentang kesibukan ibu.

“Mereka orang tuamu yang patut kamu sayangi dan hormati, saat ini mereka mencintai dunia, kamu doakan semoga ayah dan ibumu suatu saat mencintai akhirat juga.”

Sekarang aku sudah ada di pondok bersama Nur. Ayah, Ibu, belum sekali pun menjenguk. “Rindu ayah ibumu ya, Nis?” tanya Nur.

“Mereka tidak merindukanku,” ujarku pendek.

“Belum,” sanggah Nur.

“Mereka merindukan materi,” ujarku lagi.

“Doakan mereka ya!” saran Nur sambil mengelus pundakku.

Langit semakin gelap, satu persatu mulai tampak bintang tersenyum pada kami yang setia menanti kehadirannya. Kami pun tertawa, “Lihat, cantik sekali!” teriakku.

“Ssst jangan berisik, seiisi kamar nanti keluar,” tegur Nur pelan sambil mendorong badanku pelan.

“Kenapa kamu ingin pesantren, Nur? kalau aku kan hanya mencari keramaian di tengah-tengah kesepian dalam keluarga,” tanyaku.

Nur tersenyum memandangku dalam, “Kamu belum tahu cita-citaku ya?”

“Kenapa balik tanya, lagian kapan kamu cerita tentang cita-cita?” gerutuku.

“Lihat ke langit, Nis, suatu hari nanti ketika aku meninggalkan Abah, Umi, kamu, dunia ini, ingin penduduk langit menyambutku dengan senyum karena mengenalku dengan baik. Semoga dengan aku belajar Al-Qur’an dan menghafalnya di pesantren, aku bisa mewujudkannya,” tuturnya sembari terus menatap langit dan sejuta bintang.

“Aku juga ingin memakaikan mahkota kepada kedua orang tuaku di akhirat kelak yang sinarnya lebih bagus dari sinar matahari,” tuturnya lagi.


Mendengar itu, aku teringat kepada Ayah Ibu yang berusaha mencari makhota dunia untukku. Apakah aku adil jika membenci dan menghindar dari mereka dengan cara pesantren?

“Nur, aku akan meluruskan niat pesantren di sini, juga ingin memakaikan mahkota kepada Ayah dan Ibu. Bantu aku mewujudkannya ya!” pintaku.

Nur memeluk pundakku, “Kita belajar besama, Insya Allah orang tua kita akan bahagia.”

Sekarang semua berawal dari pondok pesantren, bukan dari rumah mewah di tengah ramainya hiruk pikuk kota yang menyesakkan.

Kami kembali menikmati kebesaran Tuhan yang tiada terukur. Aku pun ingin menjadi salah satu yang dirindukan penduduk langit.


*****

Demikianlah tadi sajian Guru Penyemangat tentang cerpen Islami pendek. Mudah-mudahan anak-anak kita, keluarga kita, serta sanak saudara kita menjadi lebih dekat dengan Al-Qur'an, ya.

Salam.