Detikacehnews.id | Banda Aceh - Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Aceh menggelar acara bertajuk NGOPI (Ngobrol Pintar dan Inspiratif) yang mengangkat tema “Sepak Terjang dan Keberlanjutan Dunia Jurnalistik di Aceh”. Acara yang digelar di Banda Aceh pada Kamis, (26/9) tersebut menghadirkan tiga narasumber ternama dari dunia jurnalistik Aceh, Yusrizal Ibrahim, Junaidi Yusuf, dan Adhifatra Agussalim. Mereka membahas perkembangan, tantangan, serta peluang di industri jurnalisme, khususnya di tengah maraknya era digital.
Acara ini dirancang untuk memberikan wawasan mengenai dinamika dunia jurnalistik di Aceh, terutama sejak perjanjian damai Helsinki pada tahun 2005 yang membuka ruang kebebasan lebih besar bagi para jurnalis. Selain itu, acara ini juga menyoroti bagaimana media konvensional di Aceh menghadapi persaingan yang ketat dengan media digital yang semakin berkembang pesat.
Yusrizal Ibrahim, salah satu narasumber utama dari Acehconnec.com, dalam pemaparannya menjelaskan bagaimana jurnalisme di Aceh mengalami perubahan signifikan sejak perdamaian Helsinki 2005. Menurutnya, perdamaian tersebut telah menciptakan iklim yang lebih terbuka bagi media di Aceh, memberikan kebebasan kepada para jurnalis lokal untuk meliput berbagai isu yang sebelumnya sensitif, seperti konflik dan hak asasi manusia.
“Sejak perdamaian Helsinki, jurnalisme di Aceh mulai bergerak lebih bebas. Namun, perkembangan teknologi digital membawa tantangan tersendiri, terutama bagi media cetak yang perlahan tergeser oleh keberadaan media online,” jelas Yusrizal. Ia menambahkan bahwa transformasi ke platform digital menjadi keharusan bagi media konvensional yang ingin bertahan di era modern.
Dalam pembahasannya, Yusrizal juga menyoroti bagaimana era digital telah menggeser dominasi media cetak. Media konvensional, khususnya di Aceh, kini berusaha beradaptasi dengan membuka platform digital yang lebih cepat dan dapat diakses oleh audiens yang lebih luas.
Namun, peralihan ke jurnalisme digital juga membawa tantangan baru, seperti penyebaran hoaks yang lebih sulit dikendalikan. “Hoaks menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh jurnalis di era digital. Namun, di sisi lain, perkembangan ini juga membuka peluang baru bagi jurnalis muda untuk menjangkau audiens yang lebih luas melalui berbagai platform,” paparnya.
Ia juga menambahkan bahwa kehadiran teknologi digital memungkinkan format berita yang lebih inovatif. Jurnalisme digital tidak hanya menyampaikan informasi melalui tulisan, tetapi juga melalui multimedia yang lebih interaktif, seperti video, grafik, dan infografis.
“Dengan adaptasi yang tepat, saya yakin prospek jurnalisme di Aceh tetap optimis. Media yang mampu berinovasi dan memanfaatkan teknologi secara efektif akan terus bertahan dan berkembang,” ungkapnya.
Sementara itu, Junaidi Yusuf dari Gajaputihnews.com menekankan pentingnya peningkatan profesionalisme di kalangan jurnalis Aceh. Menurutnya, kehadiran SWI di Banda Aceh menjadi angin segar bagi dunia jurnalistik di Aceh yang tengah beradaptasi dengan dinamika era digital.
“SWI memiliki peran strategis dalam meningkatkan profesionalisme dan daya saing jurnalis di Aceh. Saya berharap ke depannya, SWI dapat mendirikan kantor representatif di Banda Aceh untuk mendukung perkembangan organisasi dan para jurnalis melalui kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak,” ujar Junaidi.
Ia juga menyoroti pentingnya pelatihan berkelanjutan bagi jurnalis muda, terutama dalam menghadapi tantangan dunia digital yang terus berkembang. “Kolaborasi antara SWI dengan media lokal dan nasional sangat diperlukan untuk memastikan kualitas jurnalistik tetap terjaga di tengah era disrupsi informasi,” tambahnya.
Sekretaris DPW SWI Aceh, Adhifatra Agussalim, menutup diskusi dengan mengusulkan penerapan model wakaf sebagai strategi pengembangan organisasi. Menurutnya, konsep wakaf ini tidak hanya sebatas pada wakaf finansial, tetapi juga meliputi wakaf teknologi dan tenaga ahli yang dapat berkontribusi pada kemajuan dunia jurnalistik di Aceh.
“Wakaf tenaga ahli adalah salah satu langkah efektif untuk meningkatkan literasi jurnalistik di masyarakat. Kami berencana untuk segera menjalankan program ini melalui berbagai kegiatan pendidikan jurnalistik yang akan diselenggarakan oleh SWI Banda Aceh,” jelas Adhifatra.
Ia juga menegaskan pentingnya legalitas organisasi dalam menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. “Dengan legalitas yang kuat, SWI dapat lebih mudah berkolaborasi dengan berbagai instansi dan media nasional untuk mendukung pengembangan dunia jurnalistik di Aceh,” paparnya.
Acara NGOPI ini mendapatkan sambutan positif dari peserta yang hadir. Banyak yang berharap agar kegiatan serupa dapat terus diadakan untuk memperkuat jejaring antarjurnalis di Aceh serta mendorong pengembangan jurnalisme yang berkualitas dan berintegritas.
Acara NGOPI ini tidak hanya menjadi ajang diskusi yang produktif, tetapi juga menyoroti pentingnya inovasi dalam menghadapi tantangan di era digital. Dengan semangat kolaborasi dan profesionalisme, para narasumber sepakat bahwa masa depan jurnalisme di Aceh masih penuh dengan peluang, terutama bagi jurnalis muda yang siap beradaptasi dan memanfaatkan teknologi digital secara maksimal.
Jurnalisme di Aceh, dengan segala dinamikanya, memiliki peran penting dalam menjaga transparansi, melawan hoaks, dan menyampaikan informasi yang akurat kepada masyarakat. Dengan dukungan organisasi seperti SWI, jurnalis di Aceh diharapkan dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi nyata dalam dunia informasi di era modern ini.