Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

dr Rizal : Trauma Psikologis Korban Banjir dan Longsor Aceh Lebih Berat dari Tsunami 2004

Senin, 22 Desember 2025 | 21:06 WIB Last Updated 2025-12-22T14:06:46Z

Foto Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Almuslim, dr. Rizal, SpKJ, yang juga menjabat sebagai Kepala SMF Psikiatri UPIP RSUD dr. Fauziah Bireuen.


Detikacehnews.id | Bireuen - Dampak psikologis yang dialami korban banjir dan longsor di Aceh dalam beberapa pekan terakhir dinilai lebih berat dibandingkan trauma penyintas tsunami Aceh 2004. Penilaian tersebut disampaikan kepada awak media (22/12/2025) oleh Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Almuslim, dr. Rizal, SpKJ, yang juga menjabat sebagai Kepala SMF Psikiatri UPIP RSUD dr. Fauziah Bireuen.


Menurut dr. Rizal, beratnya trauma psikologis yang dialami penyintas saat ini bukan hanya dipicu oleh peristiwa bencana itu sendiri, melainkan oleh ketidakpastian hidup berkepanjangan akibat lambannya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak.


Dalam konteks kesehatan jiwa, kondisi bencana yang berkepanjangan tanpa kepastian pemenuhan kebutuhan dasar justru menimbulkan tekanan psikologis yang jauh lebih berat dibandingkan bencana besar yang tertangani cepat,” ujar dr. Rizal.


Ia menjelaskan, kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, tempat tinggal sementara yang layak, layanan kesehatan, sanitasi, rasa aman, serta akses informasi merupakan fondasi utama dalam pemulihan psikologis penyintas bencana.


Namun, hingga lebih dari 20 hari pascabencana, masih terdapat wilayah di Aceh yang mengalami keterisolasian akibat akses jalan tertutup lumpur, jaringan listrik yang belum pulih sepenuhnya, serta layanan kesehatan yang sulit dijangkau. “Kondisi ini membuat penyintas hidup dalam ketidakpastian terus-menerus. Secara psikiatri, ini sangat berbahaya karena dapat menghambat mekanisme adaptasi alami manusia,” jelasnya.


dr. Rizal menambahkan, dalam fase tanggap darurat seharusnya sudah dilakukan Psychological First Aid (PFA) atau dukungan psikologis awal. PFA bertujuan menenangkan penyintas, memperkuat rasa aman, serta membantu mereka kembali memiliki kontrol atas situasi yang dihadapi.


PFA itu tidak membutuhkan terapi atau diagnosis. Tapi syarat utamanya adalah kebutuhan dasar harus terpenuhi. Ketika masyarakat masih kesulitan makan, air bersih, dan tempat tinggal, maka intervensi psikologis tidak bisa berjalan optimal,” katanya.


Ia menjelaskan bahwa PFA memiliki tiga tahapan utama, yakni mengamati kondisi penyintas (look), mendengarkan keluhan dan perasaan mereka (listen), serta menghubungkan penyintas dengan sumber bantuan (link). “Masalahnya sekarang, tahapan link ini tidak berjalan. Mau dihubungkan ke dapur umum, belum merata. Mau dirujuk ke layanan kesehatan, jaraknya jauh. Ini yang membuat tekanan psikologis semakin menumpuk,” ungkap dr. Rizal.


Dari sisi medis dan psikiatri, dr. Rizal memaparkan bahwa trauma bencana yang tidak tertangani berisiko berkembang menjadi gangguan kesehatan jiwa yang lebih serius.


Dalam 1 hingga 3 bulan pertama, penyintas bisa mengalami acute stress disorder. Jika kondisi ini berlanjut dan tidak ditangani, maka setelah enam bulan dapat berkembang menjadi post traumatic stress disorder atau PTSD kronis,” jelasnya.


Gejala PTSD, lanjut dr. Rizal, meliputi kilas balik kejadian traumatis, mimpi buruk, gangguan tidur, mudah marah, menarik diri dari lingkungan sosial, serta keluhan fisik seperti nyeri kepala, gangguan pencernaan, dan kelelahan kronis yang bersumber dari tekanan psikologis (psikosomatis).


Jika dibiarkan, gangguan ini bukan hanya menurunkan kualitas hidup individu, tetapi juga berdampak pada ketahanan sosial masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya.


Ia juga menyoroti kompleksitas penanganan bencana kali ini yang berbeda dengan tsunami 2004. Menurutnya, tsunami terjadi di wilayah yang relatif terlokalisasi sehingga penanganan dapat difokuskan pada satu hamparan kawasan.


Sementara bencana banjir dan longsor saat ini bersifat sporadis dan tersebar di banyak titik. Ini membuat distribusi bantuan, layanan kesehatan, dan intervensi psikososial menjadi jauh lebih rumit,” katanya.


Sebagai solusi, dr. Rizal menekankan perlunya pendekatan terpadu antara pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan kesehatan jiwa.


Pertama, pemerintah dan pemangku kepentingan harus memastikan percepatan distribusi logistik dasar secara merata, terutama di wilayah yang masih terisolasi.


Kedua, diperlukan pembentukan tim layanan kesehatan jiwa bergerak yang melibatkan psikiater, psikolog, dokter umum, perawat, serta relawan terlatih untuk memberikan PFA langsung di lokasi pengungsian.


Ketiga, penguatan peran fasilitas kesehatan rujukan, termasuk rumah sakit daerah dan puskesmas, agar mampu mendeteksi dini gangguan psikologis dan memberikan pendampingan berkelanjutan.


Intervensi kesehatan jiwa tidak boleh menunggu situasi benar-benar stabil. Justru harus dimulai sejak fase tanggap darurat, bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan fisik,” ujarnya.


Selain itu, dr. Rizal juga mendorong keterlibatan perguruan tinggi, organisasi profesi, dan komunitas lokal dalam mendukung pemulihan psikososial penyintas.


Pemulihan trauma bukan hanya tugas tenaga kesehatan, tetapi kerja kolektif. Jika kita gagal menangani aspek psikologis, maka dampak bencana ini akan terasa jauh lebih lama dari kerusakan fisiknya,” pungkas dr. Rizal.