Notification

×

Iklan

Iklan


Tag Terpopuler

Opini | Damai Aceh Terancam: Rakyat Tak Butuh Batalyon, Tapi Lapangan Kerja

Jumat, 02 Mei 2025 | 20:03 WIB Last Updated 2025-05-02T13:03:17Z

Penulis: SarwalisWakil Bidang Kajian Ideologi dan Kebijakan Publik DPW Muda Seudang Bireuen.



Detikacehnews.id | Opini - Rencana pembangunan empat batalyon teritorial baru di Provinsi Aceh memantik kembali kekhawatiran lama. Masyarakat Aceh belum sepenuhnya pulih dari trauma panjang konflik bersenjata yang menelan ribuan korban dan meninggalkan luka psikologis mendalam. Di tengah upaya membangun perdamaian dan kesejahteraan, kehadiran militer dalam jumlah besar justru mengusik rasa aman yang telah lama dirajut.


Kami dari DPW Muda Seudang Bireuen dengan tegas menolak rencana ini. Penolakan ini bukan bentuk anti terhadap negara atau pertahanan nasional. Namun kami percaya, perdamaian sejati dibangun lewat kesejahteraan dan keadilan sosial, bukan melalui bayang-bayang laras senjata.


Aceh punya catatan kelam yang tak bisa dihapus begitu saja. Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia memicu berbagai pelanggaran HAM, penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum. Komnas HAM mencatat, pelanggaran ini terjadi secara sistematis selama bertahun-tahun.


Kini, wacana pembangunan batalyon baru berpotensi membangkitkan kembali trauma lama. Bagi masyarakat Aceh, militer bukan sekadar simbol negara, tetapi juga cermin dari pengalaman pahit yang tak ingin diulang.


Perjanjian damai Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 memuat komitmen pembatasan personel TNI di Aceh. Sebanyak 14.700 prajurit teritorial ditetapkan sebagai batas maksimum, dengan tambahan 2.500 prajurit non-organik dalam masa tertentu (Klausul 4.1–4.2 MoU Helsinki 2005).


Pembangunan batalyon baru berpotensi melanggar semangat kesepakatan tersebut. Ini bukan soal angka semata, tapi soal menjaga kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam merawat perdamaian yang diraih dengan susah payah.


Yang dibutuhkan Aceh saat ini bukan pasukan tambahan, melainkan solusi atas masalah kesejahteraan. Data BPS Aceh (2023) mencatat angka pengangguran terbuka masih di kisaran 6,11%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Di banyak wilayah, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan kerja masih tertinggal.


Pemuda Aceh tak butuh barak militer. Mereka butuh pelatihan, pekerjaan, akses modal, dan keberpihakan kebijakan. Pembangunan militer bukan jawaban atas keresahan sosial, justru berpotensi menciptakan ketegangan baru di tengah masyarakat yang sedang berusaha bangkit.


Perdamaian adalah aset paling berharga Aceh saat ini. Jangan kotori dengan kebijakan yang bisa memicu kembali luka lama. Wujudkan keamanan lewat kepercayaan, bukan intimidasi. Hadirkan keadilan melalui pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan melalui pengerahan pasukan.


Damai itu mahal. Jangan tukar dengan proyek militer yang menyalahi semangat rekonsiliasi. Karena luka sejarah tidak bisa disembuhkan dengan laras senjata, ia hanya bisa dipulihkan dengan keberanian untuk menempatkan rakyat sebagai pusat dari semua kebijakan.