Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Almuslim, Mutia Agustisa, M.Pd saat memberikan sambutan di acara Pekan Kebudayaan.
Detikacehnews.id | Bireuen - “Ngapain kuliah di jurusan Bahasa Indonesia? Emang nggak bisa ngomong pakai bahasa yang baik dan benar?” Pertanyaan yang kerap terdengar di tengah masyarakat ini dijawab lugas dan bermakna oleh Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Almuslim, Mutia Agustisa, M.Pd, dalam sambutannya pada pembukaan Pekan Kebudayaan Mahasiswa, Selasa (17/6/2025).
Dengan suara lantang namun bersahaja, Mutia menyampaikan bahwa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bukan sekadar tempat belajar menyusun kata dengan baik dan benar, melainkan ruang yang kaya akan nilai sastra, budaya, dan jati diri bangsa. “Di Prodi Bahasa Indonesia, kita belajar sastra, kita belajar budaya, budaya Aceh, budaya Indonesia. Kita belajar memahami kehidupan,” ujarnya.
Menurutnya, sastra bukan hanya pelengkap kurikulum, tetapi bagian penting dari kehidupan manusia. “Sastra itu cerminan zaman, suara hati, dan jalan untuk menyentuh perasaan orang lain dengan keindahan. Melalui sastra, kita belajar menyampaikan yang sulit dikatakan secara biasa,” tambahnya. Dalam setiap perkuliahan, ia selalu menegaskan kepada mahasiswanya, “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan sastra ini?”
Pernyataan tersebut menjadi benang merah semangat acara Pekan Kebudayaan Mahasiswa yang digelar sebagai implementasi dari mata kuliah Pementasan Sastra, di mana mahasiswa diberi ruang untuk mengeksplorasi ekspresi seni dalam balutan budaya lokal dan modern.
Dalam pandangan Mutia, pendidikan bahasa Indonesia adalah pondasi penting dalam membangun karakter bangsa. Ia menolak keras anggapan bahwa mempelajari bahasa sendiri adalah hal sepele. “Pendidikan Bahasa Indonesia itu erat dengan kehidupan kita. Melalui bahasa dan sastra, kita diajak memahami manusia, meresapi nilai-nilai kemanusiaan, dan menjaga warisan budaya yang mulai terpinggirkan,” jelasnya.
Pernyataan ini bukan hanya retorika. Mutia membuktikannya melalui kiprahnya dalam mendorong mahasiswa untuk aktif berkreasi dan berbudaya. Dalam kegiatan Pekan Kebudayaan Mahasiswa yang digelar di Aula Creative Center MA Jangka Umuslim, puluhan mahasiswa tampil mempersembahkan karya seni dari puisi, tari tradisional, drama sosial, hingga vokal solo. Semua dipersiapkan dengan penuh dedikasi sebagai bentuk praktik nyata dari mata kuliah Pementasan Sastra.
Acara yang mengusung tema “Membentuk Karakter dan Kreativitas yang Inovatif dengan Menyatukan Keberagaman Budaya dalam Balutan Modern” ini dirancang bukan semata-mata untuk memenuhi tuntutan akademik, melainkan untuk menanamkan kebanggaan terhadap sastra dan budaya lokal dalam diri mahasiswa.
Dalam kesempatan yang sama, Mutia membacakan puisi karya WS. Rendra di atas panggung. Aksi ini menjadi simbol bahwa kepemimpinan akademik tidak hanya berada di balik meja dan administrasi, tetapi juga ikut hadir di ruang ekspresi dan pengabdian seni. Pesannya sederhana namun kuat: sastra harus hidup di semua kalangan, termasuk dalam lingkup birokrasi pendidikan.
Sejumlah tokoh akademik hadir dan menyampaikan apresiasi, mulai dari Dekan FKIP Dr. Sari Rizki, M.Psi., para Wakil Dekan, Kabag Akademik dan Kabiro Umum Universitas Almuslim, Kaprodi se-FKIP, hingga dosen dan mahasiswa. Kehadiran mereka mempertegas bahwa sastra bukan milik segelintir orang, tapi milik bersama yang patut dijaga.
Apa yang disuarakan Mutia Agustisa, M.Pd., menjadi napas panjang dari gerakan kecil tapi bermakna yang dimulai di lingkungan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Umuslim. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan pragmatisme pendidikan, Mutia berdiri membawa obor kesadaran akan pentingnya sastra sebagai jembatan rasa, sejarah, dan kemanusiaan.
“Kalau bukan kita, siapa lagi?” bukan sekadar kalimat penyemangat, tetapi seruan bagi generasi muda untuk tidak malu menjadi bagian dari perjuangan literasi dan budaya. Di tangan mahasiswa yang peka dan pemimpin akademik yang visioner, seperti Mutia Agustisa, harapan akan lahirnya generasi literat, berkarakter, dan berbudaya tidak lagi sebatas impian.