Ketua Himpunan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Almuslim, Deri Rinaldy.
Detikacehnews.id | Bireuen - Polemik pengalihan status administratif empat pulau yang selama ini menjadi bagian dari Provinsi Aceh yaitu Pulau Mangkir Ketek, Mangkir Gadang, Lipan, dan Panjang ke Provinsi Sumatera Utara, terus menuai gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat Aceh. Terbaru, Ketua Himpunan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Almuslim (HIMARU UMUSLIM), Deri Rinaldy, dengan lantang menyuarakan sikap penolakan keras terhadap kebijakan yang dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan perjanjian damai Aceh.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan pengalihan administrasi keempat pulau tersebut ke Provinsi Sumatera Utara. Deri Rinaldy menyebut keputusan ini sebagai bentuk nyata dari pelanggaran terhadap Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, sebuah perjanjian damai yang menjadi tonggak berakhirnya konflik berdarah antara Aceh dan Pemerintah Pusat pada 2005.
“Kami menolak keras keputusan pengalihan empat pulau tersebut ke Provinsi Sumatera Utara. Ini adalah penghinaan terhadap sejarah dan bentuk ketidakadilan bagi Aceh. Secara administratif, historis, dan sosial, keempat pulau itu sejak dulu merupakan bagian dari Aceh, sebagaimana ditegaskan dalam poin 1.1.4 MoU Helsinki yang merujuk pada peta wilayah tertanggal 1 Juli 1956,” tegas Deri.
Lebih lanjut, Deri menekankan bahwa perdamaian Aceh tidak diperoleh secara cuma-cuma. Ribuan nyawa melayang, banyak keluarga terpisah, dan generasi Aceh tumbuh dalam trauma akibat konflik panjang. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap butir-butir MoU Helsinki sama halnya dengan mengkhianati pengorbanan para syuhada dan rakyat Aceh.
“Aceh telah membayar mahal untuk perdamaian dengan darah, air mata, dan pengorbanan. Tapi sekarang, perjanjian tersebut dilanggar begitu saja dengan selembar keputusan administratif,” ujarnya penuh emosi.
Ia pun mengingatkan Pemerintah Pusat agar tidak sembrono dalam membuat keputusan yang berpotensi mengusik stabilitas Aceh. Menurutnya, sejarah kelam hubungan Aceh dan Jakarta seharusnya menjadi pelajaran penting agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“Saya mengingatkan pemerintah pusat agar tidak mengusik stabilitas Aceh. Kita semua tahu, Aceh dan pemerintah pusat memiliki sejarah kelam yang penuh luka dan air mata. Jangan biarkan kebijakan sepihak hari ini membuka kembali luka lama yang telah kami rawat dengan susah payah demi perdamaian,” tambah Deri.
Selain menolak pengalihan administrasi, Deri juga mengecam wacana “pengelolaan bersama” antara Aceh dan Sumatera Utara terhadap empat pulau tersebut. Menurutnya, konsep tersebut hanya bentuk lain dari legitimasi terhadap pengambilan wilayah Aceh yang dilakukan secara sepihak.
“Kami menolak tegas wacana pengelolaan bersama yang diajukan oleh Sumatera Utara. Empat pulau itu adalah milik Aceh. Apa yang sudah menjadi hak rakyat Aceh, tidak perlu dibagi, apalagi dikompromikan. Ini bukan soal kerja sama, ini soal kedaulatan. Jangan bungkus ketidakadilan dengan istilah ‘kelola bersama’,” katanya dengan nada geram.
Dalam pernyataan penutupnya, Ketua HIMARU UMUSLIM itu juga menyentil Pemerintah Aceh yang dinilai lamban dan tak tegas dalam menyikapi persoalan ini. Ia mempertanyakan keberanian dan ketegasan Pemerintah Aceh dalam mempertahankan hak wilayah yang sudah jelas termaktub dalam perjanjian internasional.
“Jika memang Pemerintah Aceh tak mampu lagi merebut kembali empat pulau itu, maka biar kami, mahasiswa dan rakyat Aceh yang bergerak. Kami siap turun, siap pasang badan untuk mempertahankan Tanoh Rencong, Tanoh Darah Syuhada,” tegasnya penuh semangat.
Deri Rinaldy menutup pernyataannya dengan seruan semangat perjuangan untuk mempertahankan sejarah, tanah, dan martabat Aceh. Ia menyerukan agar seluruh elemen rakyat Aceh bersatu menjaga setiap jengkal wilayah Tanoh Rencong dari segala bentuk pengkhianatan, baik yang bersifat administratif maupun politis.