![]() |
| Anggota DPR Aceh. |
Detikacehnews.id | Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tengah membahas Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Pelindungan Masyarakat. Salah satu poin yang menjadi sorotan publik adalah ketentuan mengenai aktivitas malam bagi perempuan serta pengaturan etika sosial di ruang publik.
Rancangan qanun tersebut saat ini telah memasuki tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2025. Dalam forum itu, berbagai pasal dan substansi qanun dikaji bersama oleh unsur pemerintah, ulama, akademisi, serta tokoh masyarakat.
Salah satu pasal yang menarik perhatian terdapat pada Bab III tentang Penyelenggaraan Syariat Islam, yang menegaskan bahwa penerapan syariat merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
“Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyelenggarakan Syariat Islam secara kaffah,” demikian bunyi Pasal 5 rancangan qanun tersebut.
Sebagai turunan dari prinsip tersebut, Pasal 6 ayat (2) memuat ketentuan yang mengatur aktivitas malam bagi perempuan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap perempuan wajib meninggalkan tempat usaha atau area publik tertentu pada pukul 23.00 WIB, kecuali jika didampingi oleh mahramnya.
“Setiap wanita wajib meninggalkan tempat kegiatan usaha warung kopi, kafe, restoran, taman, halte, dan tempat kuliner lainnya di atas pukul 23.00 WIB kecuali bersama mahramnya,” bunyi pasal tersebut.
Selain itu, rancangan qanun tersebut juga menyoroti aspek etika berpakaian serta jam kerja bagi pekerja di sektor jasa dan kuliner. Pramusaji laki-laki maupun perempuan diwajibkan mengenakan busana islami, sedangkan pramusaji perempuan tidak diperkenankan bekerja di atas pukul 23.00 WIB.
“Pramusaji laki-laki dan wanita harus berbusana islami, dan pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 23.00 WIB,” demikian bunyi pasal lanjutan.
Ketentuan ini dirancang sebagai upaya menciptakan lingkungan sosial yang tertib, aman, dan sesuai dengan nilai-nilai Syariat Islam. Selain pengaturan bagi pengunjung dan pekerja, pemilik usaha juga diwajibkan untuk menyediakan penerangan yang memadai serta fasilitas ibadah di tempat usahanya.
Ketua Komisi I DPR Aceh, Tgk. H. Muharuddin, menjelaskan bahwa substansi rancangan qanun ini bukan untuk membatasi kebebasan warga, tetapi untuk mewujudkan keteraturan sosial dan keamanan masyarakat secara berkeadilan.
“Tanpa ketertiban, kehidupan bermasyarakat akan menjadi kacau dan tidak teratur. Demikian juga tanpa ketenteraman umum, kita tidak dapat menikmati hak-hak kita secara maksimal sebagai warga negara,” ujar Muharuddin.
Ia menegaskan bahwa Raqan Ketertiban Umum ini merupakan langkah penting dalam memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sekaligus menjadi payung hukum bagi perlindungan masyarakat dari berbagai potensi gangguan sosial.
“Qanun ini tidak hanya bersifat represif, tetapi juga protektif. Kita semua berhak hidup aman dan nyaman, bebas dari ancaman dan gangguan,” tambahnya.
Rancangan Qanun tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Pelindungan Masyarakat ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kokoh dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman, keadilan sosial, dan ketenteraman bagi seluruh warga Aceh.
Saat ini, proses pembahasan qanun tersebut masih berlanjut. Setelah melalui RDPU, rancangan ini akan disempurnakan berdasarkan masukan dari berbagai pihak sebelum dibawa ke tahap pembahasan lanjutan di DPRA untuk disahkan menjadi qanun resmi.
