Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Ketika Helikopter Kembali ke Langit Aceh, Warisan Masa Kecil pun Hidup Lagi

Sabtu, 13 Desember 2025 | 17:13 WIB Last Updated 2025-12-13T10:13:12Z

Dokumentasi foto saya bersama helikopter yang membawa bantuan bencana banjir di Juli, Kabupaten Bireuen.


 
Detikacehnews.id | Opini - Sudah lama sebenarnya saya tidak mendengar suara helikopter melintas rendah di langit Aceh. Suara itu seperti kenangan yang disimpan rapi. Ada, tetapi jarang dibuka. Hingga akhirnya, sejak bencana banjir besar yang melanda Aceh pada akhir November 2025, deru baling-baling itu kembali terdengar. Helikopter lalu lalang, membawa bantuan, mengevakuasi warga, dan mengantar tamu dari luar daerah karena akses darat terputus akibat banjir dan longsor.


Namun yang paling membuat saya terdiam bukan hanya kehadiran helikopter itu sendiri, melainkan sesuatu yang datang bersamanya, yaitu ingatan masa kecil.


Seketika saya teringat masa kecil saya dulu. Ingatan itu datang begitu saja ketika saya melihat keponakan dan anak-anak tetangga berlarian keluar rumah saat mendengar suara helikopter. Mereka mendongak ke langit, melambaikan tangan, lalu dengan suara lantang mengucapkan kalimat yang sangat saya kenal sejak kecil:


Kapai bi adek keu long saboh…
Kapal, berikan adik untuk saya satu.

Kadang disusul versi lain yang lebih “ambisius” menurut ukuran anak-anak:

Kapai bi peng long saboh guni…
Kapal, berikan saya uang satu karung.


Entah dari mana mereka tahu kalimat itu. Tak ada yang mengajarkannya secara resmi. Tidak tertulis di buku pelajaran, tidak pula diwariskan lewat nasihat orang tua. Namun kalimat itu hidup mengalir begitu saja dari generasi ke generasi. Saat mendengarnya, saya tersenyum. Bukan karena lucu semata, tetapi karena pada detik itu, saya seperti kembali menjadi anak kecil.


Dulu, kalimat itu adalah dunia imajinasi kami. Helikopter kami bayangkan sebagai “kapal dari langit” yang bisa memberi apa saja, adik, uang, hadiah, atau apa pun yang terlintas di benak polos anak-anak. Kami tidak benar-benar berharap itu terjadi. Kalimat itu hanyalah cara sederhana untuk merayakan sesuatu yang jarang, besar, dan terasa ajaib.


Kini, puluhan tahun berlalu, dunia berubah, teknologi semakin canggih, dan bencana datang silih berganti. Namun warisan kecil itu tetap bertahan. Di tengah situasi sulit akibat banjir, di saat helikopter benar-benar membawa bantuan nyata, kalimat masa kecil itu masih terucap dengan tawa, dengan harapan, dan dengan kepolosan yang sama.


Saya menyadari, inilah kekuatan ingatan kolektif. Sesuatu yang mungkin terlihat sepele, tetapi mengakar kuat dalam jiwa. Kalimat itu bukan sekadar candaan, melainkan penanda zaman, penghubung antar generasi, dan bukti bahwa ada nilai-nilai yang tidak ikut hanyut oleh waktu.


Helikopter hari ini memang tidak lagi sekadar simbol imajinasi. Ia membawa beras, air bersih, obat-obatan, dan pertolongan bagi mereka yang terisolasi. Namun bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang Aceh lainnya, helikopter juga membawa kembali masa kecil masa ketika hidup terasa sederhana, harapan masih ringan, dan tawa mudah tercipta.


Melihat anak-anak itu berlari keluar rumah, saya belajar satu hal penting bahwa warisan tidak selalu berupa benda, bangunan, atau tulisan besar. Kadang ia hadir dalam bentuk kalimat sederhana yang diucapkan sambil tertawa, lalu hidup diam-diam dalam ingatan.


Pesan moralnya pun terasa jelas bagi saya. Di tengah bencana, kesulitan, dan perubahan zaman, jangan sampai kita kehilangan ingatan akan hal-hal kecil yang membuat kita bahagia. Ingatan masa kecil, kearifan lokal, dan kebiasaan sederhana seperti ini adalah penguat jiwa, pengingat bahwa harapan selalu punya tempat, bahkan di saat paling sulit.


Kelak, mungkin helikopter kembali jarang melintas di langit Aceh. Namun selama masih ada anak-anak yang berlari keluar rumah sambil meneriakkan kalimat itu, selama masih ada senyum yang muncul karena ingatan masa kecil, saya yakin warisan itu akan terus hidup, diam, sederhana, dan menghangatkan hati.