Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Wujudkan Pembelajaran Berpihak Pada Murid, Laila Amna : Inilah Diseminasi Penerapan Budaya Positif di Sekolah

Rabu, 01 Februari 2023 | 19:35 WIB Last Updated 2023-02-01T12:48:32Z

Wujudkan Pembelajaran Berpihak Pada Murid, Laila Amna : Inilah Diseminasi Penerapan Budaya Positif di Sekolah
Foto Penulis : Laila Amna, S.Pd., Guru Penggerak SMA Negeri 3 Bireuen

Detikacehnews.id | Artikel - Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional membedakan kata pendidikan dan pengajaran dalam memahami arti dan tujuan pendidikan.


Menurut  Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kodrat yang dimiliki anak agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sedangkan pengajaran adalah bagian dari pendidikan yang merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.


Dengan demikian pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya.


Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Ki Hadjar Dewantara memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan akan menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan dan diterapkan dalam kehidupan.


Budaya Positif menjadi sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari refleksi filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Untuk mewujudkan budaya positif di lingkungan sekolah yang merupakan nilai-nilai dan kebiasaan kebiasaan  di sekolah yang berpihak pada murid agar mereka dapat berkembang menjadi pribadi  yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab,  maka  nilai dan peran Guru Penggerak, serta Visi Guru Penggerak harus diterapkan.


Oleh sebab itu,  peran guru penggerak  menjadi andil untuk dapat mewujudkan budaya positif dilingkungan sekolah. Peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran dapat secara nyata menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru dan juga mendorong kolaborasi antar guru  atau teman sejawat untuk bersama-sama mewujudkan budaya positif. Peran ini dapat diwujudkan apabila guru penggerak memiliki nilai-nilai mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid.



Sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan diseminasi penerapan budaya positif dilingkungan sekolah dengan melibatkan semua warga sekolah. Tujuannya agar semua warga sekolah  mampu memahami makna dan penerapan budaya positif di lingkungan kelas atau sekolah, mampu berkontribusi dalam merancang kesepakatan kelas dan menjadikannya sebagai nilai keyakinan sehingga dapat menjadi budaya positif di lingkungan sekolah.


Hal itu dapat diterapkan dengan berbagi pemahaman dan pengalaman tentang konsep inti budaya positif yang terdiri dari : perubahan paradigma stimulus respon, disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, konsekuensi dan restitusi,  lima posisi kontrol guru,  keyakinan kelas,  lima kebutuhan dasar manusia dan segitiga restitusi. 


Konsep Pertama Perubahan Paradigma Stimulus Respon.

Guru harus merubah cara pandang dari dari paradigma stimulus respon menjadi teori  kontrol dan juga perlu meninjau kembali bentuk disiplin yang selama ini dijalankan di sekolah. Disamping  itu, dalam membangun budaya positif  sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan menciptakan dengan  merdeka, mandiri, serta bertanggung jawab.


Konsep Kedua Disiplin Positif.

Disiplin positif merupakan  suatu cara penerapan disiplin tanpa kekerasan dan ancaman yang dalam praktiknya melibatkan komunikasi tentang perilaku yang efektif  


antara guru, orang tua dan murid. Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.



Konsep Ketiga Keyakinan Kelas.

Untuk terbentuknya budaya positif perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan dan prinsip-prinsip dasar bersama antar warga kelas yang akan menjadi keyakinan kelas. Keyakinan kelas bukanlah peraturan akan tetapi merupakan sebuah kesepakatan bersama yang berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid. Keyakinan kelas bersifat abstrak, berupa pernyataan universal, dibuat dalam bentuk positif, mudah dipahami, dapat diterapkan, semua warga kelas ikut berkontribusi dan perlu meninjau kembali dari waktu ke waktu. Berikut hasil kesepakatan kelas yang sudah disetujui bersama.




Konsep Keempat Pemenuhan lima Kebutuhan Dasar Manusia.

Setiap tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Apa yang kita lakukan adalah usaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan sebenarnya saat itu kita sedang memenuhi kebutuhan dasar yang terdiri dari kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.


Konsep Kelima Lima Posisi Kontrol.

Menurut Gosse, ada 5 posisi kontrol yang dapat diterapkan seorang guru yaitu sebagai penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau dan manajer. Sebagai guru harus berada di posisi kontrol yang ideal yaitu sebagai manajer. Pada posisi manajer guru mempersilakan murid untuk mempertanggung jawabkan perilakunya dan mencari solusi dari permasalahan, sehingga bisa menjadi manajer bagi diri sendiri.


Konsep Keenam Segitiga Restitusi.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahannya. Adapun tahapan dari segitiga restitusi yaitu menstabilkan identitas (Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan), validasi tindakan yang salah (Semua perilaku memiliki alasan), menanyakan keyakinan (Kita semua memiliki motivasi internal). Langkah dalam segitiga restitusi digambarkan dalam bentuk segitiga seperti gambar berikut:






Melalui segitiga restitusi murid dibimbing untuk memperbaiki kesalahannya, membantu untuk menemukan solusi dari permasalahan dan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.


Dari pemaparan langkah di atas, hendaknya menjadi bekal pengetahuan bersama yaitu guru penggerak (sebagai pelopor dan coach bagi guru lain), rekan guru, dan semua warga sekolah lainnya serta wali murid yang juga diberikan sosialisasi budaya positif sebagai pendukung penerapan budaya positif mulai dari keluarga agar konsisten antara rumah dan sekolah sehingga akan membantu untuk mewujudkan budaya positif di sekolah.


Dengan mendapatkan informasi dan memahami konsep-konsep tersebut maka guru penggerak bersama dengan semua warga sekolah berkolaborasi dalam upaya menerapkan dan membangun budaya positif di sekolah, diawali dari diri sendiri, kemudian untuk ditularkan kepada murid sebagai subjek dalam pembelajaran. Pengembangan budaya positif dapat menumbuhkan motivasi instrinsik dalam diri untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur serta berakhlak mulia.


Terwujudnya budaya positif adalah salah satu bentuk perubahan yang diharapkan sesuai dengan visi guru penggerak agar tercipta lingkungan sekolah yang aman dan nyaman untuk kelangsungan pembelajaran yang berpihak pada murid agar dapat mewujudkan murid yang memiliki karakter sesuai dengan profil pelajar pancasila.