Gubernur Aceh, Muzakir Manaf // Dok. Foto Humas Aceh.
Detikacehnews.id | Jakarta - Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, atau yang akrab disapa Mualem, secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap keputusan pemerintah pusat yang memindahkan empat pulau di perairan Aceh ke wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Dalam keterangannya kepada media di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025), Mualem menyebut bahwa keempat pulau tersebut secara historis, geografis, dan sosial budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh.
Empat pulau yang menjadi polemik itu adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, keempat pulau tersebut kini dinyatakan masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Namun, keputusan tersebut langsung menuai keberatan dari Pemerintah Aceh. Muzakir Manaf menyatakan pihaknya memiliki bukti kuat yang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari Aceh sejak lama.
“Ya, empat pulau itu sebenarnya adalah kewenangan Aceh. Jadi kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat. Sejak dahulu kala itu memang punya Aceh,” tegas Mualem kepada wartawan.
Lebih lanjut, Mualem menjelaskan bahwa bukan hanya aspek sejarah yang menguatkan klaim Aceh atas pulau-pulau tersebut, tetapi juga karakteristik geografis dan iklimnya yang lebih sesuai dengan Aceh.
Menanggapi polemik ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa penetapan wilayah administrasi empat pulau itu sudah melalui proses panjang dan melibatkan berbagai instansi terkait, baik dari pusat maupun daerah. Tito menyebut setidaknya ada delapan instansi pusat yang terlibat dalam proses pemutusan batas wilayah ini, termasuk Badan Informasi Geospasial (BIG), Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, serta Direktorat Topografi TNI AD.
“Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” ujar Tito di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
Menurut Tito, batas wilayah darat antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Tapanuli Tengah (Sumut) telah disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, persoalan muncul karena batas wilayah laut hingga kini belum menemui titik sepakat. Dalam kondisi ini, sesuai regulasi, pemerintah pusat diberikan kewenangan untuk menetapkan keputusan akhir.
“Tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” jelas Tito.
Dari pertemuan di tingkat pusat, berdasarkan peta dan data geografis, keempat pulau tersebut dianggap lebih dekat secara administratif dengan wilayah Sumatera Utara karena mengikuti tarikan batas darat yang telah disepakati.
“Melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tambahnya.
Meskipun keputusan administratif telah dikeluarkan, Gubernur Aceh menyatakan tidak akan tinggal diam. Pihaknya akan menempuh langkah-langkah hukum dan diplomasi untuk memperjuangkan hak Aceh atas empat pulau tersebut. Sengketa ini disebut berpotensi menjadi isu strategis nasional, karena menyangkut batas wilayah provinsi yang sensitif, terlebih Aceh memiliki kekhususan dalam konteks otonomi daerah.
Pemerhati politik dan otonomi daerah, Dr. Fathurrahman, menilai bahwa konflik ini seharusnya bisa diselesaikan dengan pendekatan mediasi ulang yang lebih transparan, melibatkan tokoh adat, sejarawan, dan masyarakat lokal dari kedua provinsi.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknokratis. Harus ada dialog sejarah dan sosial budaya yang lebih dalam. Apalagi Aceh memiliki nilai historis yang sangat kuat dalam pembentukan wilayahnya,” ujarnya.
Masyarakat Aceh di wilayah pesisir barat selatan, termasuk Aceh Singkil, dikabarkan ikut menyuarakan aspirasi mereka dan merasa kehilangan atas pemindahan wilayah tersebut. Banyak yang menilai keputusan pemerintah pusat tidak mencerminkan semangat keadilan dan partisipasi daerah.
Dengan polemik ini, sorotan publik tertuju pada langkah selanjutnya dari Pemerintah Aceh. Akankah Aceh menggugat secara hukum atau membuka kembali forum musyawarah nasional terkait batas wilayah? Yang pasti, Gubernur Muzakir Manaf telah mengirimkan sinyal kuat: Aceh tidak akan menyerahkan haknya begitu saja.