Anggota Komisi III DPR RI, Dr. H. M. Nasir Jamil, S.Ag., M.Si. // Dok. Foto Andri.
Detikacehnews.id | Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr. H. M. Nasir Jamil, S.Ag., M.Si membantah keras tudingan bahwa dirinya tidak membela kepentingan Aceh terkait sengketa empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil yang kini secara administratif tercatat sebagai wilayah Sumatera Utara (Sumut). Klarifikasi ini disampaikan Nasir Jamil saat dihubungi awak media pada Rabu malam, 11 Juni 2025.
Empat pulau yang menjadi polemik antara Aceh dan Sumut tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan. Keempatnya kini ditetapkan sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri. Namun, status ini memicu kegaduhan publik di Aceh, yang merasa hak wilayahnya telah diabaikan. Di tengah riuh isu ini, nama M. Nasir Jamil sempat disebut sebagai pihak yang tidak vokal membela Aceh.
Namun tuduhan tersebut langsung ditepis oleh politisi kawakan PKS itu. Ia menyebut bahwa kesalahpahaman publik Aceh timbul dari cara mereka memahami komentarnya secara sepihak.
"Itu merupakan kesalahan berpikir masyarakat Aceh yang membaca komentar saya, seolah-olah saya setuju pulau itu diambil oleh Sumut. Padahal tidak seperti itu," tegas Nasir Jamil.
Dalam keterangannya, anggota Komisi III DPR-RI tersebut mengungkapkan bahwa dirinya justru termasuk pihak yang paling awal menyuarakan keprihatinan atas status keempat pulau tersebut.
"Padahal sejak 2018 dan 2022 saya sudah mengingatkan soal empat pulau itu. Tapi mungkin waktu itu belum menjadi perhatian publik,” ujarnya.
Nasir menambahkan, status administratif keempat pulau itu memang belakangan lebih condong ke Sumut. Meski demikian, ia meyakini masih ada ruang perjuangan bagi Aceh untuk merebut kembali hak wilayahnya yang sah.
"Ada peluang Aceh mengambil kembali empat pulau tersebut dari Sumut," katanya optimis.
Menurutnya, selama ini status kepemilikan keempat pulau itu berada dalam wilayah abu-abu hukum dan administratif karena pemerintah pusat tidak pernah mengambil sikap tegas.
"Selama ini empat pulau tersebut dihendel nasional, jadi terhadap keempat pulau tersebut, bukan milik Aceh dan bukan milik Sumut," jelasnya.
Politisi yang dikenal kritis terhadap berbagai persoalan nasional ini menyayangkan sikap gamang pemerintah pusat dalam menyikapi status empat pulau tersebut. Ia menyebut bahwa tidak adanya ketegasan dan kejelasan batas wilayah dari pusat telah membuka celah terjadinya perebutan wilayah antardaerah.
"Kalau dilihat, ada fase gamang yang dilakukan Pemerintah Pusat terhadap keempat pulau tersebut," kata Nasir.
Terkait adanya peta wilayah yang menunjukkan bahwa keempat pulau itu seharusnya masuk dalam peta administratif Aceh, Nasir menilai bahwa hal itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dan objektif oleh badan yang berwenang.
Untuk mengurai kerumitan masalah ini, Nasir Jamil menyarankan agar DPR-RI dan DPD-RI mengambil peran aktif dengan menghadirkan narasumber independen yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi.
"Saya usulkan DPR-RI dan DPD-RI supaya mendatangkan narasumber yang kredibel dan kompeten saat membahas empat pulau itu, bersama Gubernur Aceh. Hal ini penting supaya ada pendapat pembanding terhadap persoalan ini," pungkasnya.
Menurutnya, pendapat para pakar yang tidak memiliki kepentingan politik akan membantu mengurai masalah secara lebih objektif dan adil, demi menghindari gesekan antardaerah yang berlarut-larut.
Isu klaim wilayah di perbatasan memang bukan hal baru di Indonesia, terutama menyangkut provinsi-provinsi yang memiliki batas administratif kompleks. Dalam konteks Aceh, kepekaan terhadap wilayah sangat tinggi karena erat kaitannya dengan sejarah, identitas, dan otonomi khusus yang dimiliki daerah ini.
Dengan klarifikasi ini, publik Aceh diharapkan bisa memahami bahwa M. Nasir Jamil bukanlah sosok yang abai, melainkan justru telah lama mengingatkan tentang potensi konflik wilayah ini. Kini bola panas berada di tangan pemerintah pusat dan para pemangku kebijakan lokal untuk bertindak cepat, terukur, dan adil dalam menyelesaikan polemik yang dapat berdampak besar terhadap kohesi wilayah dan integritas nasional.