![]() |
Bupati Bireuen, H. Mukhlis, ST dalam sambutan sekaligus membuka acara secara resmi kegiatan International Conference Symposium Nusantara (SIMPORA) XVI Tahun 2025. |
Detikacehnews.id | Bireuen - Bupati Bireuen, H. Mukhlis, ST secara resmi membuka kegiatan International Conference Symposium Nusantara (SIMPORA) XVI Tahun 2025, yang dipusatkan di Gedung Creative Center M.A. Jangka, Rabu (3/9/2025).
Pembukaan ajang ilmiah dan kebudayaan berskala nasional ini turut dihadiri Wakil Bupati Bireuen, Ibu Bupati Bireuen, Ibu Wakil Bupati Bireuen, Anggota DPRA sekaligus Ketua Pembina Yayasan Almuslim Peusangan, unsur Forkopimda Kabupaten Bireuen, Rektor Universitas Almuslim beserta para guru besar, perwakilan dari Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia, serta tamu-tamu penting lainnya.
Hadir pula para keynote speaker, termasuk tamu kehormatan Chairman of KUTAI, Prof. Madya. Dr. Sabrizaa Rashid; akademisi Oxford Brookes University, Dr. Kelly Reed; serta Prof. TPr. Dr. Jamalunlaili A dari UiTM Malaysia. Turut bergabung pula para akademisi dari dalam dan luar negeri, dosen, peneliti, mahasiswa, insan pers, serta tamu undangan lainnya.
Dalam sambutannya, Bupati Mukhlis menekankan bahwa pembangunan daerah bukan hanya soal infrastruktur modern, tetapi juga harus bertumpu pada jati diri, adat, dan kearifan lokal. Ia mengutip pepatah Aceh yang berbunyi:
"Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana"
Ungkapan tersebut, jelas Mukhlis, menjadi pengingat bahwa kearifan lokal sejak lama telah menjadi pedoman hidup masyarakat Aceh.
“Ketika kita bicara tentang Bireuen, kita bicara tentang warisan perjuangan. Bukan hanya perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi juga perjuangan menjaga adat, agama, dan kebersamaan. Hari ini, melalui Simpora XVI, semangat itu kita lanjutkan dalam bentuk perjuangan intelektual dan budaya,” ujar Bupati.
Mukhlis juga menyinggung pentingnya melestarikan arsitektur kayu tradisional seperti Rumoh Aceh, yang kaya ukiran serta sarat makna filosofis. “Rumoh Aceh adalah simbol identitas kita. Ia harus tetap hidup di tengah arus modernisasi,” tegasnya.
Kepada mahasiswa, Bupati berpesan agar aktif berpartisipasi dalam kegiatan ini, bukan hanya sebagai penonton. “Jangan hanya hadir, tapi bertanya, berdiskusi, dan membangun jejaring. Kalian adalah generasi penerus yang akan menjaga warisan budaya sekaligus menghadapi tantangan global,” ucapnya.
Kepada para akademisi dan peneliti, ia mengajak untuk memperkuat riset kolaboratif lintas negara, disiplin, dan generasi melalui momentum Simpora.
Rektor Universitas Almuslim, Dr. Marwan, M.Pd, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah mendukung suksesnya penyelenggaraan Simpora XVI.
Ia juga mengulas sejarah panjang Yayasan Almuslim Peusangan yang berdiri sejak 24 November 1929 dengan nama Jami’ah Almuslim, didirikan oleh tokoh-tokoh berpengaruh seperti Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap, Tgk. Chiek Muhammad Djohan Alamsyah (Ulee Balang Peusangan), Tgk. H. Ibrahim Meunasah Barat, Tgk. Abbas Bardan, dan lainnya.
Dari yayasan tersebut lahirlah sejumlah perguruan tinggi, seperti STIT, STP, STKIP, dan AMIK. Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 02/D/O/2003, semua perguruan tinggi tersebut resmi dilebur menjadi Universitas Almuslim (Umuslim).
“Sejarah panjang ini menunjukkan komitmen Almuslim dalam mengembangkan pendidikan dan kebudayaan. Dan hari ini, menjadi tuan rumah Simpora XVI adalah bagian dari tanggung jawab moral itu,” ungkap Marwan.
SIMPORA XVI Tahun 2025 diselenggarakan pada 1–5 September 2025 dengan mengusung tema besar “Religion, Traditions and Local Wisdom.” Tema ini mencerminkan visi menghadirkan kembali kesadaran kolektif akan pentingnya merawat nilai-nilai luhur masyarakat Nusantara yang kerap terpinggirkan oleh modernisasi.
Kegiatan ini dirancang dengan pendekatan interaktif, partisipatif, dan inspiratif. Rangkaian acaranya meliputi Culture Expo, Workshop Mahasiswa Nasional dan Internasional, Simposium Ilmiah, ekskursi ke Dataran Tinggi Takengon, hingga Gala Dinner.
Dengan melibatkan akademisi, mahasiswa, seniman, tokoh adat, dan komunitas, SIMPORA menjadi ruang dialog untuk merekonstruksi makna warisan budaya Nusantara, sekaligus menjembatani kolaborasi global melalui riset, seni, dan pendidikan.